Modernis.co, Malang – Unjuk rasa digelar sejumlah aktivis mahasiswa yang menamakan Koalisi IAIN TA Bersuara. Di pintu masuk utama IAIN Tulungagung serta rektorat kampus di Jalan Raya Mayor Sujadi 46, Kota Tulungagung, Jawa Timur. Para mahasiswa protes karena kampus tidak segera menindaklanjuti kasus itu dan justru mewisuda pelaku pelecehan, akhir pekan lalu.
Menurut Roiyyatus dan pengunjuk rasa lain, pihak kampus seharusnya memiliki unit layanan khusus untuk menangani kasus pelecehan seksual. Ketiadaan unit layanan khusus membuat proses penanganannya tidak berjalan lancar. Mereka juga menyayangkan adanya kesan viktimisasi atau menyalahkan yang dilakukan pihak kampus terhadap korban.
Aksi itu merupakan bentuk dukungan terhadap korban pelecehan seksual yang akan mengikuti persidangan di internal kampus. Menurut Roiyyatus, korban sempat depresi dan trauma atas tindakan pelecehan yang dilakukan kakak tingkatnya. Hingga saat ini, proses persidangan masih berlanjut. Korban dan terlapor sama-sama tercatat sebagai mahasiswa di Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum.
Terlapor melakukan pelecehan seksual terhadap korban dengan modus mengajaknya mendaki gunung.”Kejadian pelecehan seksualnya di luar kampus tetapi mereka berdua tercatat sebagai mahasiswa di kampus ini,” terang Roiyyatus Sa’adah.
Menanggapi aksi tersebut, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan IAIN Tulungagung Abad Badruzaman mengakui belum punya penyelesaian untuk permasalahan pelecehan seksual yang dilakukan mahasiswa. ”Tetapi kami memastikan sudah berkoordinasi dengan pusat studi gender dan anak, akan segera merilis peraturan dan keluar peraturan rektor tentang penanggulangan dan pelecehan seksual,” ujar Abad Badruzaman.
Untuk saat ini, kata Abad, rektorat hanya menerima laporan terhadap kasus yang dihadapi. Namun selebihnya pihak kampus tak bisa melakukan persidangan dengan hanya mendasarkan laporan tanpa diikuti data, bukti, dan saksi.
Seksualitas dan Kodrat Perempuan
Pelecehan seksual memberikan dampak buruk bagi personal maupun kelompok. Terjadinya tindakan ini dikarenakan sikap sosial budaya yang kurang tegas terhadap aturan pelecehan seksual. Seperti membiarkan peluang bagi laki-laki untuk bebas melakukan apapun terhadap wanita yang dipandang lemah, kurangnya pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap permasalahan seksual.
Kurangnya informasi dari fasilitas-fasilitas umum untuk kalangan perempuan agar dapat mengantisipasi tindakan kekerasan seksual yang berterusan, kurang tegasnya pemerintah dalam membentuk sistem pemberlakuan masyarakat dan kurangnya jaminan keamanan hukum Indonesia tentang tindakan kekerasan seksual.
Ulah pornoaksi dengan bermacam model yang tidak ditindaklanjuti hingga menimbulkan langkah awal dari munculnya kekerasan seksual tanpa adanya perhatian pemerintah indonesia mengakibatkan masyarakat mudah terpengaruh akan pelecehan seksual tanpa adanya jaminan keamanan, keselamatan, menjadikan latar belakang terjadinya kekerasan seksual ini berterusan.
Kaitan antara kekerasan dengan seksualitas sangat mempengaruhi seluruh pola kehidupan dari segi sosial, psikologis, seksual, kekerabatan, apalagi dalam hal kebatinan. Karena adanya unsur paksaan ketika hendak melakukan hubungan biologis atau yang semisalnya. Seksualitas yang dimaknai sebagai bentuk emosi, rangsangan, bentuk pelampiasan dari seseorang agar mendapat ketenangan, menjadikan definisi seksualitas yang sehat menjadi masalah berkepanjangan.
Seksualitas memiliki aturan dan sudut pandang sendiri untuk melaksanakannya. Bahkan juga disebutkan dalam Undang-undang, yang berarti seksualitas juga tidak boleh melebihi batasan dari aturan dari segi agama dan negara. Seksualitas memiliki pandangan yang berbeda-beda ketika masuk dalam lingkup pemahaman orang awam, pemuka agama, para akademisi dan sebagainya.
Agar tidak salah langkah dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan maka seseorang harus terlebihi dahulu bagaimana aturan dan konsekuensi dari apa yang telah dilanggarnya. Di poin ketiga ini menjelaskan bagaimana seksualitas yang sehat, tanpa adanya rasa resah takut akan akibat di masa yang akan datang dari perbuatannya.
Sedangkan seks sendiri adalah fitrah manusia juga anugerah Tuhan agar memiliki keturunan yang sehat, baik cerdas dalam ucapan dan perbuatan. Mengetahui maraknya pelecehan seksual yang kurang terkendali, hal ini disebabkan oleh kurangnya praktik ilmu-ilmu fiqh atau ilmu yang mempelajari tentang hak-hak perempuan, hukum saling menghormati dan sebagainya.
Pepatah arab mengatakan “ilmu yang tidak diamalkan bagaikan pohon yang tidak memiliki buah” yang dimaksudkan adalah bagaimana ilmu hanya sebatas pemahaman, tanpa diimbangi dengan praktek. Kebanyakan ilmu-ilmu hanya sebagai asupan bagi otak tidak sampai implikasinya. Seperti permisalan yang telah disebutkan di atas, pohon yang tidak berbuah tidak memiliki manfaat kecuali hanya sebatas apa yang dimilikinya.
Sebagai wanita bisa menjadi pemimpin apabila sudah tidak ada laki yang bisa memimpin sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Menurut penjelsaan tersebut berarti perempuan boleh menjadi pemimpin akan tetapi dahulukan laki-laki terlebih dahulu.
Jadi pada intinya wanita dapat melakukan apapun yang dia inginkan akan tetapi ada batas dan ketentuan yang berlaku demi kesejahteraan, menjaga kewanitaannya, kesehatannya dan sebagainya. Tingkat aturan hukum yang berlaku dalam suatu negara atau daerah juga tergantung pada nilai-budaya yang bisa dianggap aturan khusus.
Jadi, perempuan juga memiliki hak-hak mendapat perlakuan hidup sehat, aman, sejahtera layaknya laki-laki. Tetapi apabila perempuan tidak bisa diandalkan dalam hal ini maka sudah sepatutnya praktik hukum negara juga hukum agama-lah yang menuntun perempuan agar terhindar buruknya harga diri.
Hukum Islam dan Kekerasan Seksual
Made Dwi dalam jurnalnya menegaskan, pengaturan mengenai kejahatan di Indonesia diatur dalam peraturan yang telah dikodifikasi yaitu KUHP. Terdapat dua jenis tindak pidana perkosaan dalam KUHP, yaitu : 1. Pasal 285 diatur mengenai tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh 2. Pasal 289 mengatur mengenai tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul.
Dalam Pasal 285 KUHP tidak ditegaskan apa yang menjadi unsur kesalahan, baik itu sengaja atau alpa. Namun dengan dicantumkannya unsur memaksa dalam rumusan pasalnya, maka jelas bahwa perkosaan merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. Dapat dikatakannya tindakan perkosaan apabila telah terjadi persetubuhan antara pelaku dan korban.
Apabila tidak sampai terjadi persetubuhan maka perbuatan dimaksud dapat dikualifikasikan dengan tindak pidana percobaan perkosaan untuk bersetubuh (Pasal 285 Jo. Pasal 53 KUHP) dan tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul (Pasal 289 KUHP). Dari ketentuan-ketentuan mengenai tindak pidana perkosaan tersebut, dirumuskan pula suatu sanksi pidana yang diberikan bagi pelaku kejahatan.
Dalam ketentuan Pasal 285 KUHP dinyatakan bahwa ancaman pidana maksimum yang diterima oleh pelaku adalah duabelas tahun penjara. Sanksi minimalnya tidak ada, sehingga memungkinkan pelaku dijerat dengan hukuman yang lebih ringan jauh dari efek yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukannya terhadap korban kejahatan kekerasan seksual (perkosaan).
Dr. A. Suadi berpendapat, hukum Islam juga tidak mentoleransi kekerasan seksual. Karena nabi SAW tidak membenarkan suami melakukan hubungan biologis dengan istrinya tanpa foreplay, sesuai isyarat hadis:
“Dari Abu Hurairah Ra. (Bahwa) Nabi SAW bersabda: janganlah salah seorang di antara kamu menggauli istrinya seperti seekor binatang. Hendaklah terlebih dahulu dia memberikan rangsangan dengan ciuman dan rayuan.” (HR. Ahmad)
Dengan demikian, berarti hukum Islam menolak kekerasan seksual dalam rumah tangga yang dilakukan suami, misalnya menyetubuhi istri di saat tertidur, dipaksa saat haid, nifas. Apalagi tindakan suami yang menjual istri kepada orang yang lain atau memaksa istri menjadi pelacur untuk tujuan komersial.
Bertolak dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa hadits yang memuat informasi adanya kutukan kepada istri yang menolak ajakan suami melakukan hubungan seksual bukanlah untuk melegitimasi kekerasan seksual dalam rumah tangga. Sebaliknya Islam sangat melarang suami melakukan kekerasan seksual kepada istrinya.
Salah satu bentuk kekerasan seksual tersebut adalah suami memaksa istri yang sedang haid melayani hasrat biologis suami, Anton melakukan hubungan biologis yang disertai ancaman fisik kepada istri. bahkan Salah satu bentuk akhlak seorang suami adalah mampu berlapang dada dan menggauli istrinya tanpa kekerasan.
Apalagi hubungan seksual merupakan jalinan dua hati dan raga yang kenikmatannya bukan saja monopoli suami tetapi juga milik istri. Apakah nabi SAW melarang suami melakukan hubungan biologisnya dengan istrinya tanpa “pemanasan” terlebih dahulu.
Oleh: M Naufal Rahman (Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang)